PAYUNG HUKUM KEMITRAAN, PERLU BERHATI-HATI DALAM BERMITRA
Kemitraan ayam broiler
Berkembangnya
bisnis peternakan unggas dewasa ini mengakibatkan banyak perusahaan breeding dan
sapronak pendkungnya bermunculan atau menambah produksinya. Disisi lain,
tingginya minat masyarakat untuk berinvestasi di dunia perunggasan bisa
terbilang tinggi. Bak gayung bersambut, kini mulai banyak perusahaan unggas
bahkan poultry shoap yang membuka bisnis unggas dengan sistem kemitraan terutama
broiler. Hal tersebut tentunya sangat membantu peternak karena investasi
menjadi lebih ringan karena adanya bantuan dari perusahaan mitra. Kemitraan
akan berjalan bila didasari dengan semangat yang sama untuk saling
menguntungkan.
Seiring
pesatnya pertumbuhan kemitraan tersebut, gejala munculnya persaingan tidak
sehat disinyalir mulai muncul. Gejala tersebut adalah berupa munculnya
praktik-praktik monopoli yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar
bermodal besar yang menguasai dari hulu sampai hilir. Akibatnya perusahaan
kecil atau bahkan peternak mandiri terancam keberadaanya. Ketidakadilan juga seringkali dirasakan
peternak, yang terkadang mengalami kerugian yang tidak sedikit disebabkan
karena buruknya kualitas sapronak yang disediakan pihak perusahaan inti. Payung
hukum kemitraan sudah ada, tinggal pelaksanaanya perlu pengawasan dari semua
pihak seperti yang di muat di Poultry Indonesia tanggal 7 Januari 2014 sebagai
berikut:
Dalam
pelaksanaan kemitraan tidak bisa sembarangan saja penerapannya saat ini, karena
semua hal tentang kemitraan sekarang diatur dalam UU No.41 Tahun 2014, Perpres
No.48 Tahun 2013, PP No.6 Tahun 2013 Serta PP No.17 Tahun 2013.
Dalam
Undang-Undang No.41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Pasal 31
disebutkan pada ayat 1. Peternak dapat melakukan kemitraan usaha di bidang
budidaya ternak berdasarkan perjanjian yang saling memerlukan, memperkuat,
menguntungkan, menghargai, bertanggung jawab, ketergantungan, dan berkeadilan.
Ayat 2. Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan; antar
peternak, antara peternak dan perusahaan peternakan, antara peternak dan
perusahaan di bidang lain, dan antara perusahaan peternakan dan pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan.
Pada
Peraturan Presiden RI No.48 Tahun 2013 Tentang Budidaya Hewan Peliharaan yang
diatur dalam Bagian Kelima Berisi mengenai Kerja Sama dan Kemitraan Budi Daya
Hewan Peliharaan. Pasal 18 disebutkan penyelenggara budidaya hewan peliharaan
dapat melakukan kerjasama dengan pihak asing untuk menyelenggarakan budidaya
hewan peliharaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
penanaman modal dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.
Pasal
19 ayat 1. Penyelenggara budidaya hewan peliharaan dapat melakukan kemitraan
dalam menyelenggarakan budidaya hewan peliharaan. Ayat 2 disebutkan kemitraan
budidaya hewan peliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan
berdasarkan perjanjian yang saling memerlukan, memperkuat, menguntungkan dan
berkeadilan.
Pada
Peraturan Pemerintah RI No.6 Tahun 2013 Tentang Pemberdayaan Peternak diatur
dalam Bab V, pasal 19 ayat 1 disebutkan untuk meningkatkan pendapatan peternak,
sinergi dan daya saing usaha diperlukan kemitraan usaha yang dapat dilakukan
antar peternak, antara peternak dengan perusahaan peternakan dan antara
peternak perusahaan dibidang lain. Ayat 2. Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud
ayat 1 dapat dilakukan paling sedikit dalam bentuk bagi hasil, sewa atau inti
plasma.
Dalam
pasal 20 ayat 1 disebutkan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 harus
dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Ayat 2, perjanjian sebagaimana
dimaksud paling sedikit memuat harga dasar sapronak dan/atau harga jual ternak,
jaminan pemasaran, pembagian keuntungan dan risiko usaha, serta mekanisme
pembayaran. Pada ayat 3 disebutkan mekanisme pembayaran sebagaimana dimaksud
pada ayat 2 dilakukan untuk memberikan jaminan hak pembayaran.
Serta
aturan lain yang mengikat ialah diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No.17
Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan UU No.20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah, di mana pada Bagian Ketiga Pasal 31 disebutkan bahwa KPPU
melakukan pengawasan pelaksanaan kemitraan. Dalam melakukan pengawasannya, KPPU
berkoordinasi dengan instansi terkait.
Larangan praktek monopoli
Moh.
Noor Rofieq, Investigator Utama Deputi Penegakan Hukum Komisi Persaingan Usaha
(KPPU) RI mengatakan diperlukan persaingan usaha yang sehat dalam pelaksanaan
budidaya peternakan ayam di Indonesia, hal ini dikarenakan alasan normatif
sebagai bagian pelaksanaan sistem ekonomi Indonesia yang disusun melalui
Pancasila dan UUD 1945. “Alasan rasionalnya ialah untuk upaya antisipasi dampak
globalisasi.”
Sistem
ekonomi Indonesia, lanjut Moh. Noor, yang sesuai Pancasila dan UUD 1945,
memiliki tujuan pembangunan ekonomi yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Hal ini diatur dalam Pasal 27, 31, 33, dan Pasal 34.
Secara
globalisasi, dengan terjalinnya persaingan usaha dapat meningkatkan efisiensi
dan produktifitas dengan memperluas jangkauan pasar atas produk nasional,
transfer teknologi, modal dan inovasi.
“Tantangannya
ialah tingginya tingkat persaingan domestik akibat membanjirnya produk impor,
sehingga membutuhkan daya saing yang tinggi. Pelaku usaha besar menguasai
kegiatan usaha dalam negeri melalui kartel, penyalahgunaan posisi dominan,
merger/take over, dan sebagainya,” terang Moh. Noor.
Oleh
sebab itu terbitlah UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Hal ini dimaksudkan untuk kepentingan umum dan
meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. “Mewujudkan iklim usaha yang kondusif
melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya
kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha
menengah, dan pelaku usaha kecil. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha. Serta terciptanya
efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha,” kata Moh. Noor.
Dalam
UU No.5 Tahun 1999 mengatur mengenai persaingan sehat bukan persaingan bebas.
Membenarkan perlindungan kepentingan nasional (national interest) sebagaimana
diatur pasal 33 (2) jis Pasal 3 (1) dan pasal 51 dengan kebijakan persaingan
(competition policy) berupa: membolehkan negara menunjuk lembaga/institusi
tertentu (khususnya BUMN) untuk memonopoli sektor tertentu sepanjang tidak
mengeksploitasi konsumen, mengecualikan Usaha Kecil dan Koperasi.
“Ketidakseimbangan posisi tawar, bukan pelanggaran UU No.5 Tahun 1999.
Pemerintah melalui competition policy dapat mengatur sektor usaha untuk usaha
kecil serta wilayah dan waktu usaha untuk usaha kecil.”
Ketentuan
pelanggaran UU NO. 5 Tahun 1999 Terbagi Menjadi 3 Bagian yakni: Perjanjian yang
Dilarang, Kegiatan yang Dilarang, Penyalahgunaan Posisi Dominan. Perjanjian
adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri
terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis
maupun tidak tertulis.
Moh.
Noor mengatakan perjanjian yang dilarang di antaranya ialah Oligopoli,
Penetapan Harga, Resale Price Maintenance, Pembagian Wilayah, Pemboikotan,
Kartel, Trust, Oligopsoni, Integrasi Vertikal, Perjanjian Tertutup, Perjanjian
dengan Pihak Luar Negeri, Monopoli, Pengasaan Pasar, Jual Rugi dan
Persekongkolan.
File Peraturan Perundang-undangan dapat di download di Area Download